Festival Kampung Merah Putih #1: Inspirasi Anak Desa Merah Putih
Nursalim Saputra – KololioArtStudio Kamis, 16 Feb 2024 15.12 WITA
Setiap individu merespons momen penting dengan cara yang berbeda, termasuk pada sejarah yang penuh dengan tindakan heroik dan pengalaman empiris bagi mereka yang mengalaminya secara langsung atau yang mempelajarinya dari berbagai sumber. Seperti halnya Desa Kaleke, yang memiliki potensi sejarah yang dapat dijadikan subjek penelitian terhadap satu peristiwa penting sebagai bagian dari memori kolektif, yakni pergerakan untuk mengibarkan bendera putih pertama di lembah Palu (Kaili) pada tanggal 11 Februari 1946. Pada saat itu, istilah yang lebih umum digunakan untuk menyebut Desa Kaleke adalah “kampung” daripada “desa”. Pada tanggal 11 Februari 2024, Lembaga Sanggar Seni Kololio menghidupkan kembali ingatan akan sejarah tersebut melalui penyelenggaraan festival yang sederhana, dengan fokus pada pendekatan kepada generasi Z dan Alpha yang merupakan generasi baru yang lahir di abad ke-21.
Sekilas tentang Kaleke
Desa Kaleke, yang lebih dikenal sebagai Kampung Merah Putih, terletak di Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki posisi strategis karena berbatasan dengan empat desa lainnya. Kaleke kaya akan sumber daya alam, termasuk mata air dan lahan pertanian yang subur. Selain itu, desa ini juga merupakan tempat tinggal bagi seniman dan pengrajin tradisional. Sejarahnya yang kaya mencatat bahwa Kaleke adalah ibu kota terakhir Kerajaan Dolo dan tempat di mana bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di lembah Palu pada masa penjajahan. Desa ini juga memiliki makam pahlawan nasional, “Tombolotutu”, serta menyimpan jejak sejarah peradaban Nusantara. Kampung Merah Putih bukan hanya merupakan simbol warna, tetapi juga merupakan identitas penting bagi Desa Kaleke, mencerminkan dualitas budaya air dan tanah serta menyimpan peninggalan sejarah dari berbagai periode, mulai dari masa Megalitikum hingga Dinasti Song dan Qing.
Penyelenggaraan Festival Kampung Merah Putih
Festival ini diberi nama Kampung Merah Putih sebagai alternatif istilah untuk menyebut Desa Kaleke, yang diharapkan dapat menarik minat masyarakat Kaleke untuk mengenali potensi-potensi yang ada di desa mereka, termasuk sejarahnya. Dengan popularitas yang meningkat, Festival Kampung Merah Putih, yang dimulai dari gerakan kecil di komunitas, diharapkan dapat menjadi perayaan desa yang diterima secara luas, yang berasal dari inisiatif masyarakat Kaleke sebagai promotor dan didukung oleh pemerintah sebagai fasilitator untuk menjamin kelangsungan Festival Kampung Merah Putih.
Dalam hal penamaan, kata “kampung” digunakan untuk merujuk pada identitas ke-Indonesia-an, sedangkan “Merah Putih” mengacu pada peristiwa pengibaran bendera pada tahun 1946 di Kaleke. Penggunaan istilah “festival” dipilih karena familiar dan bermakna sebagai perayaan atau kemeriahan yang menunjukkan adanya pertemuan dan kebersamaan.
Pada tahun ini, Festival Kampung Merah Putih masih dalam edisi pertama. Konsepnya tidak hanya memasyarakatkan peristiwa tahun 1946, tetapi juga mengadopsi pendekatan kebudayaan dengan merevitalisasi senjata tradisional sebagai permainan anak-anak pada masa lampau dan mengubahnya menjadi narasi dan ilustrasi visual yang dapat diakses secara digital. Upaya untuk menghidupkan kembali senjata-senjata ini dilakukan di lingkungan persawahan dekat mata air Bionga. Metode sosiodrama digunakan sebagai pendekatan pembelajaran untuk memperlihatkan dan memainkan peran bahan ajar seperti Panaguntu, Panavatu, dan Sopu agar anak-anak lebih menikmati proses belajar. Sesi yang paling menarik adalah ketika mereka berpartisipasi dalam simulasi penggunaan senjata tradisional tersebut, yang diorganisir dalam bentuk permainan perang dengan bantuan dari pengarah Arun dan asisten Syaid. Mereka dengan riang melakoni peran-peran tersebut sambil tertawa.
Setelah itu, Teman-Teman Kololio bersama Anak Kampung Merah Putih berkunjung ke halaman rumah warga yang dekat dengan permandian Bionga. Sambil menikmati pisang goreng, salah satu teman Kololio, Rahmad Gunawan, bertugas sebagai pemandu menggunakan teknologi Virtual Reality (VR). Meskipun hanya dilakukan di halaman rumah, kegiatan ini memiliki nilai lokal yang tinggi dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar dan bersenang-senang. Mereka dengan antusias menyebut perangkat VR sebagai Kacamata VR, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh pemandu mengenai penggunaannya dan konten-konten yang terkait dengan potensi desa yang ditampilkan di dalamnya. Hal ini membuat mereka semakin tertarik karena merupakan pengalaman baru bagi mereka.
Festival Kampung Merah Putih yang bertemakan “Inspirasi Anak Desa Merah Putih” ini bertujuan untuk memperkuat identitas anak-anak desa, tidak hanya melihat mereka sebagai anak-anak kampung biasa, tetapi juga sebagai individu yang mengenal teknologi dan mampu menghargai permainan tradisional sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Untuk menjaga kelangsungan Festival Kampung Merah Putih, diperlukan inisiatif dari masyarakat, bantuan dari pemerintah, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak terkait. Dengan semangat gotong-royong, festival ini diharapkan akan terus menjadi wadah penting dalam memperkuat dan mempromosikan identitas Kampung Merah Putih.